PEMICU
GERAKAN 30 SEPTEMBER/ PKI 1965
Tahun 1965 dibuka dengan hiperinflasi (650%),
naiknya harga barang, antrian barang, dan keputusan Presiden Soekarno keluar
dari PBB sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno terhadap diangkatnya
Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap PBB.
Keadaan semakin memanas ketika berhembus kabar bahwa
kesehatan Presiden Soekarno semakin memburuk setiap harinya. Hasil diagnosis
tim dokter dari RRC yang dibawa aidit, mengatakan bahwa ginjal Soekarno
bermasalah. Berita ini coba ditepis oleh Presiden Soekarno sendiri dengan tetap
menjadi inspektur upacara dalam perayaan HUT RI pada 17 Agustus 1965.
Dengan keadaan seperti ini, tuntutan yang sangat logis
adalah perubahan dalam ekonomi, perubahan dalam sistem politik dan sistem
sosial. Namun, yang jadi pertanyaan adalah kapan perubahan itu akan datang?
Politik adalah kata kuncinya. Perubahan itu benar- benar datang dan tak terduga
bentuknya adalah sebuah peristiwa besar yang sampai sekarang masih tetap
menjadi “ the dark side of our history”.
Peristiwa 30 S/PKI 1965
di Jakarta pada tanggal 30 september 1965 malam hari, kelompok yang menamakan
dirinya sebagai “ Dewan Revolusi” ini akan beraksi. Mereka menggunakan Pasukan
Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden Soekarno), pemuda rakyat dan beberapa
kesatuan Diponegoro serta Brawijaya yang mendukung aksi penculikan dan
pembunuhan perwira-perwira tinggi TNI AD yang dinilai tidak progresif dan
revolusioner. Perwira- perwira yang dimaksud adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtosudarmo,
Mayor Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal S.Parman, Brigadir Jenderal D.I
Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.
Jenderal A.H Nasution, Menko Hankam/ Kepala Staf ABRI
dapat meloloskan diri dengan cedera kakinya, namun putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban
kelompok tersebut. Ajudan Jenderal A.H Nasution yaitu Letnan Satu Piere Andreas Tendean ikut dibawa ke Lubang Buaya.
Seorang Polisi pengawal Brigadir Polisi
Karel Sasuit Tubun yang dianggap dapat membocorkan rahasia ditembak mati.
Semua jenazah korban dimasukkan ke dalam sumur kering di Lubang Buaya.
Peristiwa G S/ PKI 1965 di Jawa Tengah
Beberapa saat setelah
apa yang dinamakan “Dewan Revolusi” mengeluarkan pengumuman rakyat Jawa Tengah
dikejutkan oleh siaran RRI Semarang yang menyatakan bahwa di kota itu telah dibentuk
Dewan Revolusi daerah yang dipimpin oleh Kolonel
Suherman dan Letkol Usman. Kedua perwira teras Kodam VII Diponegoro ini
ternyata telah masuk ke dalam Dewan Revolusi. Mereka telah menyiapkan perebutan
kekuasaan di Jawa Tengah untuk kepentingan dewan tersebut.
RRI Semarang dan markas Kodam VII Diponegoro untuk
sementara waktu dapat dikuasainya. Panglima Kodam Diponegoro, Brigjen
Suryosumpeno selamat terhindar dari usaha pembunuhan di Salatiga
Penculikan dan pembunuhan serupa juga terjadi di
Yogyakarta dan menimbulkan korban Komandan Komando Resimen 072 Pamungkas Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem
072 Pamungkas Letnan Kolonel Sugiyono.
Keduanya dibunuh dengan kejam di Kentungan, markas suatu batalyon yang dikuasai
oleh perwira komunis. Para perwira ABRI yang menjadi korban kelompok tersebut
kemudian mendapat gelar pahlawan revolusi dan mendapat anugerah kenaikan
pangkat anumerta.