Sabtu, 03 November 2012

PKI


PEMICU GERAKAN 30 SEPTEMBER/ PKI 1965
            Tahun 1965 dibuka dengan hiperinflasi (650%), naiknya harga barang, antrian barang, dan keputusan Presiden Soekarno keluar dari PBB sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno terhadap diangkatnya Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap PBB.
            Keadaan semakin memanas ketika berhembus kabar bahwa kesehatan Presiden Soekarno semakin memburuk setiap harinya. Hasil diagnosis tim dokter dari RRC yang dibawa aidit, mengatakan bahwa ginjal Soekarno bermasalah. Berita ini coba ditepis oleh Presiden Soekarno sendiri dengan tetap menjadi inspektur upacara dalam perayaan HUT RI pada 17 Agustus 1965.
            Dengan keadaan seperti ini, tuntutan yang sangat logis adalah perubahan dalam ekonomi, perubahan dalam sistem politik dan sistem sosial. Namun, yang jadi pertanyaan adalah kapan perubahan itu akan datang? Politik adalah kata kuncinya. Perubahan itu benar- benar datang dan tak terduga bentuknya adalah sebuah peristiwa besar yang sampai sekarang masih tetap menjadi “ the dark side of our history”.
            Peristiwa 30 S/PKI 1965 di Jakarta pada tanggal 30 september 1965 malam hari, kelompok yang menamakan dirinya sebagai “ Dewan Revolusi” ini akan beraksi. Mereka menggunakan Pasukan Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden Soekarno), pemuda rakyat dan beberapa kesatuan Diponegoro serta Brawijaya yang mendukung aksi penculikan dan pembunuhan perwira-perwira tinggi TNI AD yang dinilai tidak progresif dan revolusioner. Perwira- perwira yang dimaksud adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtosudarmo, Mayor Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal S.Parman, Brigadir Jenderal D.I Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.
            Jenderal A.H Nasution, Menko Hankam/ Kepala Staf ABRI dapat meloloskan diri dengan cedera kakinya, namun putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban kelompok tersebut. Ajudan Jenderal A.H Nasution yaitu Letnan Satu Piere Andreas Tendean ikut dibawa ke Lubang Buaya. Seorang Polisi pengawal Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun yang dianggap dapat membocorkan rahasia ditembak mati. Semua jenazah korban dimasukkan ke dalam sumur kering di Lubang Buaya.
           
Peristiwa G S/ PKI 1965 di Jawa Tengah
          Beberapa saat setelah apa yang dinamakan “Dewan Revolusi” mengeluarkan pengumuman rakyat Jawa Tengah dikejutkan oleh siaran RRI Semarang yang menyatakan bahwa di kota itu telah dibentuk Dewan Revolusi daerah yang dipimpin oleh Kolonel Suherman dan Letkol Usman. Kedua perwira teras Kodam VII Diponegoro ini ternyata telah masuk ke dalam Dewan Revolusi. Mereka telah menyiapkan perebutan kekuasaan di Jawa Tengah untuk kepentingan dewan tersebut.
            RRI Semarang dan markas Kodam VII Diponegoro untuk sementara waktu dapat dikuasainya. Panglima Kodam Diponegoro, Brigjen Suryosumpeno selamat terhindar dari usaha pembunuhan di Salatiga
            Penculikan dan pembunuhan serupa juga terjadi di Yogyakarta dan menimbulkan korban Komandan Komando Resimen 072 Pamungkas Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem 072 Pamungkas Letnan Kolonel Sugiyono. Keduanya dibunuh dengan kejam di Kentungan, markas suatu batalyon yang dikuasai oleh perwira komunis. Para perwira ABRI yang menjadi korban kelompok tersebut kemudian mendapat gelar pahlawan revolusi dan mendapat anugerah kenaikan pangkat anumerta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar